SELAMAT DATANG DI BLOG BEM FISIP UNDIP. SILAKAN MENCARI INFORMASI YANG ANDA BUTUHKAN. KRITIK DAN SARAN DARI PENGUNJUNG SANGAT BERARTI BAGI PENGEMBANGAN BLOG INI. TERIMA KASIH.

Minggu, 20 Maret 2011

"Disintegrasi di dalam Bangsaku"

(diolah dari berbagai sumber)
Oleh Dimas Anom Nugraha

       Nampaknya, nasionalisme yang melambangkan jadi diri bangsa Indonesia yang selama ini demikian kukuh, kini mulai memperlihatkan keruntuhan. Asas persamaan digerogoti oleh ketidakadilan pengalokasian kekayaan yang tak berimbang antara pusat dan daerah selama ini.
  Menurut Aristoteles, persoalan asas kesejahteraan yang terlalu diumbar, merupakan salah satu sebab ancaman disintegrasi bangsa. Di samping instabilitas yang diakibatkan oleh para pelaku politik yang tidak lagi bersikap netral. Meskipun barangkali filosof politik klasik, Aristoteles dianggap usang. Namun bila dilihat dalam konteks kekinian kita, orientasinya tetap bisa dijadikan sebagai acuan. Paling tidak untuk melihat sebab-sebab munculnya ancaman disintegrasi bangsa.

       Mantan Sekjen PBB Kofi A.Annan mengidentifikasikan bentuk ancaman atau bahaya secara global yangdihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia saat ini, yaitu:
1. Ancaman sosial ekonomi termasuk kemiskinan, penyakit menular
        dan kerusakan lingkungan,
2. Konflik antar Negara,
3. Konflik internal termasuk perang saudara, genosida dan kekejaman berskala besar lainnya,
4. Senjata nuklir, radioplogi, kimia dan biologi,
5. Terorisme dan,
6. Kejahatan antar lintas negara yang terorganisir.
  Identifikasi tersebut diatas juga tidak menutup kemungkinan akan mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia, apabila kita sebagai komponen bangsa tidak siap mengantisipasinya. Mungkin ancaman ini telah kita rasakan dengan berbagai contoh kejadian yang tidak bisa dianggap enteng seperti terjadinya konflik horizontal di Aceh, Papua, Maluku, Poso, NTB dan berbagai daerah lain. Bahkan pada tataran terkecil sudah sering kita lihat, kita dengan adalah sering terjadinya perkelahian antar warga, perkelahian antar mahasiswa, perkelahian antar pelajar.
       Yang lebih controversial lagi, kita masih ingat beberapa tahun silam terjadi perkelahian antar anggota DPR dalam suatu persidangan memperjuangkan nasib rakyat. Bahkan para anggota dewan lupa menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam mengawali pidato Presiden dalam menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus 2009. Ini adalah suatu kejadian yang membuat kita tidak yakin terhadap sejauh manakah para wakil rakyat mengerti, memahami dan melaksanakan nilai-nilai apa itu wawasan kebangsaan.
      Good governance tidak hanya memerintah, main kuasa sesuka hati, tuli terhadap suara rakyat, tetapi sungguh mau mendengarkan suara rakyat yang tidak direkayasa dengan duit, tetapi sungguh setia kawan dengan mereka yang menjadi korban ketidakadilan dalam proses pembangunan hidup politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama. 
  Jika pusat kekuasaan dan otonomi daerah tak berhasil mendatangkan perbaikan dalam hidup, bukan mustahil rakyat kecil yang tinggal jauh dari pusat akan cenderung memisahkan diri. Membiarkan segala bentuk kebijakan yang tidak adil, korupsi yang mendarah daging, penegakan hukum yang tak berdasarkan keadilan dan diskriminasi sosial hanya akan mengubur semangat dan cita-cita dasar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan melestarikan pengibaran bendera disintegrasi (perpecahan) nasional. 
  Fenomena perpecahan bagi Republik Indonesia itu sudah makin nyata di depan mata, melalui lepasnya provinsi ke-27 Timor Timur pada 1999 menjadi negara Republik Demokrat Timor Leste (RDTL). Lalu semangat Otonomi Daerah, di mana para Bupati dan Wali Kota menjelma menjadi ”Raja-Raja Kecil’ di daerah. Mereka sering memandang sebelah mata keberadaan pemerintah pusat.
  Kebijakan Desentralisasi (Otonomi Daerah) memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk memfasilitasi peran serta, prakarsa, aspirasi, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, di tengah maraknya tuntutan agar pemerintah daerah diberikan hak yang luas, muncul kekhawatiran dan kecemasan seputar munculnya gejala dan potensi disintegrasi bangsa.
  Kecemasan ini masuk akal, mengingat sampai hari ini kecenderungan pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus menguat dan masih terdengar di sejumlah daerah. Kebijakan desentralisasi melalui UU 22/1999 sebetulnya bukan hanya upaya koreksi total dari kebijakan lama yang sentralistik, namun yang lebih penting, sebagai langkah untuk meredam gejolak dan semangat pemisahan dari NKRI.
  Sinyal nyata lainnya adalah meletusnya konflik sesama anak bangsa secara sporadis di berbagai daerah, yang didasari kepentingan primordial atau kesamaan etnis, kepentingan bisnis, kepentingan politik dan kepentingan membangun negara berdasarkan agama. Fakta terbaru itu adalah konflik HKBP di Bekasi, bentrokan massa antarwarga di Tarakan, perang antar kelompok di Jalan Ampera Raya Jakarta Selatan, dan konflik lain yang terjadi sebelumnya.
  Tanda-tanda di bidang ekonomi juga semakin nyata, jika kita menilik semakin banyaknya aset penting dan berharga yang dikuasai invetor asing di bawah kendali organisasi keuangan internasional. Sementara di bidang kebudayaan, ditandai dengan begitu derasnya kebudayaan global memengaruhi gaya hidup kalangan muda. Dan, fakta paling nyata dan mengerikan terkini adalah meningkatnya kejahatan bersenjata api dan bentrokan bersenjata api.
  Melihat peristiwa yang terjadi sepanjang 2010 bisa diperoleh gambaran nyata tentang tanda-tanda Indonesia yang sedang berjalan menuju perpecahan bangsa seperti yang sudah terjadi di Uni Soviet, Yugoslavia, Kosovo dan demikian juga Cekoslowakia. Kita semua, sebagai anak-anak bangsa, harus lebih peka dan tidak memandang semua ini dengan sebelah mata. Kita perlu mengkaji kembali kekuatan Pancasila sebagai simbol persatuan dan kesatuan yang dibingkai dalam Bhinneka Tunggal Eka. Sekarang juga sebelum semuanya terlambat!!!

*) Penulis adalah seorang Mahasiswa S 1 Ilmu Pemerintahan FISIP-Undip, angkatan 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar